Saturday, May 3, 2014

Sedikit tentang Quick Count

Sedikit tentang Quick Count

Ada 2 kutipan menarik di pembukaan buku "How to Lie with Statistics" tulisannya Darrell Huff. Kutipan pertama dari Disraeli tentang statistik cukup populer, "there are three kinds of lies: lies, damned lies, and statistics" - ada 3 jenis kebohongan: bohong, 'ndobos' dan statistik.

Jika kutipan di atas berhasil membuat kita curiga tapi tetap tidak mampu mengkritisi secara konstruktif suatu data statistik, kutipan kedua ini lebih penting: "statistical thinking will one day be as necessary for efficient citizenship as the ability to read and write" - penalaran statistik suatu saat akan menjadi sangat penting untuk menjadi warga negara yang baik, sepenting kemampuan baca tulis - HG Wells. 


Sedikit tentang Quick Count


Yang kedua ini mengajak kita untuk meningkatkan literasi kita tentang ilmu statistik (tidak hanya literasi membaca dan menulis) jika kita ingin menjadi warga negara yg berkualitas. "One day" atau suatu saat yg dibayangkan oleh Wells adalah saat dimana suatu kebijakan publik banyak menggunakan statistik sebagai landasan atau banyak digunakan statistik sebagai upaya untuk mempengaruhi publik. Yang kedua ini sering terjadi di dunia politik dan dimaklumi sebagai salah satu cara propaganda yang efektif.

Rasa-rasanya "one day" yg disebut oleh Wells ini sudah terjadi pada zaman kita. Perdebatan dan wacana di media maupun di kalangan akademisi dari soal "99% vaksinasi terbukti menyebabkan anak autis" sampai "70% santri berpaham radikal", dari iklan "4 dari 5 wanita indonesia memakai pembalut wanita X" sampai "quick count 99% data, pasangan Ke-Bo menang pilkada", semuanya menggunakan terminologi statistik. Oleh krn itu membaca berita saja tidak cukup (apalagi cuma judulnya), perlu literasi ttg statistik, seperti kata Wells.

Ini contohnya, tentang pemilu. Sebagai metode untuk memprediksi hasil keseluruhan suatu pemilu, metode quick count sbg metode statistik dikatakan reliable sejauh dia memenuhi kaidah2 riset statistik sedangkan polling atau exit poll dikatakan sebagai tdk reliable. Reliable sendiri artinya reproducible artinya dapat dilakukan kembali dgn metode yg sama dgn hasil yg mendekati sama atau konsisten. Tapi hasil yg konsisten itu sendiri belum tentu akurat, krn dlm statistik, reliable berbeda dgn valid atau accurate.

Terkadang quick count dianggap reliable krn klaim sudah menghindari bias dalam sampling (menggunakan metode random & multi-stage sampling), menjaga quality control (tenaga terlatih dan tersumpah, validasi dari petugas PPS melalui tandatangan), jumlah sample yg memadai. Dan reliability ini tampaknya ditunjukkan melalui data yg konsisten antar lembaga riset.

Bukankah ada bukti kekeliruan quick count (selain beberapa yg terbukti akurat), misalnya di pilkada jawa timur tahun lalu? Dalam kasus itu, mungkin cara kita membaca yg salah, bukan mereka yg berbohong. Dengan selisih angka-angka yg kecil, margin error 2% yg dikatakan sangat bagus dalam statistik, hasil aktual bisa berbeda. "Cara bodohnya" (tidak tepat benar karena disimplifikasi disini, hanya sebagai ilustrasi untuk memudahkan), jika dikatakan partai A = 10%, partai B = 7%, selisih 3%; hasil aktual partai A bisa 8% sd 12% dan partai B hasil aktualnya bisa 5% sd 9%. Jadi hasilnya bisa terbalik, partai B bisa di atasnya dengan perolehan 9% dan partai A hanya 8%, meskipun kemungkinannya tidak besar. Ini jika selisih 2 partai sampai 3%, padahal dalam quick count pemilu kemarin, banyak partai yg selisihnya hanya 1-2%.

Si periset tdk bisa dikatakan berbohong karena toh dia sudah menyampaikan angka parameter metodenya, hanya kita atau wartawan yang mengutipnya yg kurang paham.

Benarkah hal itu bukan bohong? Dalam fiqh, ada istilah tawriyah atau kebohongan diplomatis. Misalnya pak lurah mengajak kita ronda malam, kita menolak dgn halus dgn alasan "mau keluar". Setelah pak lurah pergi, kita pun benar-benar keluar rumah, lalu masuk lagi. Pak lurahnya saja yg salah paham bukan? Benarkah begitu?

oleh: Priyo jatmiko

No comments:

Post a Comment