Seperti analogi gelas yang terisi setengahnya dengan air, apakah mau
disebut "setengah isi" atau "setengah kosong", tidak tergantung gelas
atau
airnya tapi tergantung sudut pandang yang melihat. Begitu juga
kalau kita punya sepotong data/pengetahuan, mau menjadi berkah karena
data tadi jadi "setengah ilmu" atau menjadi musibah karena mrnjadi
"setengah kebodohan", itu tergantung kesadar-dirian kita mengukur kadar
diri sendiri.
Ini kisah nyata. Ada seorang yang diustadzkan tapi
mungkin karena ideologinya, menjadikan ucapan, ceramah dan status sosial
medianya penuh dengan ucapan kasar, laknat dan belakangan mulai
mengkafir2kan. Ini bukan melebih-lebihkan, tapi memang begitu. Artinya
yang hanya kadang-kadang saja kasarnya (seperti saya sendiri) tidak
perlu merasa tersindir, tapi introspeksi diri tentu tidak terlarang juga
hehehe. Yang jadi sasaran laknatnya adalah toge dan antek-anteknya, dan
juga semua orang 'kafir'. Dan orang islam yang tidak setuju dengannya.
Kata bunuh atau penggal kadang muncul juga. Toge itu plesetan taghut
("pemerintah kafir"). Herannya, tahun 2000an awal, saya beberapa kali
menghadiri pengajiannya, meskipun dulu sudah ada kecenderungan keras
tapi tidak sebegitu-begitu amat, baik ideologinya maupun kekasarannya.
Maka dengan niat baik, saya inbox beliau. Setelah bla bla sedikit ini dialognya saya ubah sedikit:
Saya (P): Ustadz, maaf, kalau bisa kasarnya dikurangi. Kan ada hadits
nabi yang mengatakan "Innallaha rafiiqun yuhibburrifqa -Sesungguhnya
Allah itu Maha Lembut, dan Dia mencintai sifat lembut".
Beliau (U):
Nggak bisa. Hadits itu untuk kelembutan seperti kita lembut pada istri,
orangtua, anak. atau dalam kehidupan sehari-hari. kalau sudah
menyangkut agama, kita harus kasar pada toge, antek2nya dan kafir
laknatuLlah. Antum pelajari lagi haditsnya. Pelajari konteksnya baru
bicara!
P: Tapi hadits itu memang lengkapnya kan teguran Nabi saw.
pada Siti Aisyah ra yang berbicara kasar pada orang kafir (yaitu Yahudi)
koq. Aisyah ra tetap ditegur meski sebetulnya orang Yahudi duluan yang
melaknat Nabi Muhammad. Lalu Aisyah membalas melaknat. Dan lagi
lanjutannya d nasehat Nabi itu ada "fil amri kullihi" "Dia mencintai
sifat lembut DALAM SEMUA URUSAN."
U: Antum salah. Saya tidak minta berteman dengan anda. Kalau tidak suka dengan tulisan-tulisan saya, tinggalkan saja.
Memang sih, saya yang lebih dahulu minta berteman dengan akunnya,
secara beliau ini lebih ngetop di dunia persilatan. Tapi puas juga
rasanya setelah beliau jadi orang pertama dalam sejarah perfesbukan yang
saya blokir duluan hehe.
(Kalau ada yg tahu siapa beliau tidak usah disebut-sebut ya. Aib.)
Kalau ini kejadian lain di kantor saya. Sebut saja, berinisial M (bukan singkatan dari melati ya) berkomentar di milis kantor.
(setelah melihat orang mengkritik kebijakan perusahaannya -menurut
keyakinannya pimpinan perusahaan (direksi?) itu ulil amri juga)
M:
tidak boleh mengkritik pemimpin. itu bukan metode Rasulullah dan
sahabat2nya. itu metodenya orang yunani. (seingat saya memang kata
yunani ini dulu disebut)
Saya inbox-
P: Pak, masak karyawan tidak boleh mengkritik perusahaan. Kan bagus untuk didiskusikan. Kesannya islam itu jadi gimana gitu.
M: Islam kan tidak untuk menyenangkan kesan orang lain mas. islam itu qalallah wa qalarrasul.
P: Tapi kan ada hadits "man ra-a minkum fal yughayyir bi yadih dst"
(barangsiapa melihat kemunkaran maka ubahlah dengan tangan, dst)
M:
Pelajari lagi lebih lengkap. hadits itu sifatnya umum saja. kalau untuk
pemimpin kita sami'na wa atha'na, atau datangi dua mata, lalu nasehati
dia.
P: Kalau bisa bagus sih. tapi kan tidak mutlak, ada konteks dan
kondisinya. Lagipula kata siapa haditsnya tidak berlaku untuk penguasa.
Itu kan ceritanya sahabat Abu Said al Khudri ra membetulkan sahabat
lain yang menegur penguasa (Marwan ra), di depan umum lagi, (jamaah ied)
waktu dia berbuat bid'ah (mendahulukan khotbah ied sebelum salat ied).
M: Saya tidak mau berdebat mas. kita bekerja yang baik saja sebagai
karyawan yang sudah menerima kebaikan yang banyak dari perusahaan.
#padahal beliau yang duluan mendebat teman-teman serikat pekerja di milis kantor
P: Insya Allah kita berusaha bekerja dengan baik pak. Termasuk ketika
mengkritisi kebijakan itu juga dalam rangka bekerja dengan baik.
#syukurlah, saya juga tidak mau berdebat, karena tema ini pasti akan jadi perdebatan panjaaaaaaang sekali)
Saya tidak mau kalau dua cerita ini dikait-kaitkan dengan person atau
kelompok tertentu ya. Saya menghormati kelompok2 yg mungkin merasa
dikaitkan dengan cerita ini. Apalagi belum tentu cerita ini mewakili
keseluruhan kelompok.
Intinya, kita kadang mengetahui ayat atau
hadits itu cuma sepotong dari kutipan buku atau ceramah, tidak utuh.
Kedua hadits tadi populer potongannya, tapi jarang orang membaca atau
mendengar keseluruhannya. Padahal contoh di atas hanya sekedar soal
keutuhan teks. Belum lagi arti kata per kata, asbabun nuzul/wurud,
analisa gramatikal, tafsiran ulama, dan tradisi yang panjang turun
temurun dalam mengaplikasikan teks itu dll dll.
Dengan yang
sepotong data itu, mau jadi orang setengah berilmu atau setengah bodoh
sangat tergantung pada kadar pengetahuan kita pada diri sendiri.
Keindahannya adalah, kalau kita tahu bahwa kita ini setengah bodoh, maka
kita bisa berperilaku seperti orang yang setengah berilmu.
Di
jaman internet ini, mudah untuk punya data -banyak data- tapi masalahnya
adalah bagaimana merangkai kepingan-kepingan puzzle itu jadi gambar
yang utuh, bagaimana mengendapkan data di pikiran, memasaknya jadi
sebongkah pengetahuan. Di dunia kerja orang seperti ini disebut "data
death". Kita tidak mengklaim pengetahuan kita sudah jadi gambar yang
utuh, tapi minimal kita harus mengukur diri kalau puzzle itu berapa
persen utuhnya, dimana bolongnya dan bagaimana memproduksinya menjadi
setengah ilmu yang nafi', yang bermanfaat, bukan memproduksinya menjadi
pengumuman kebodohan diri sendiri. Saya pernah begitu, mengumumkan
kebodohan diri sendiri, malu rasanya
اللهم اني اعوذ بك من جهل نفسي
Oleh Proyo Jatmiko