Saturday, December 6, 2014

Setengah Berilmu atau Setengah Bodoh?

Seperti analogi gelas yang terisi setengahnya dengan air, apakah mau disebut "setengah isi" atau "setengah kosong", tidak tergantung gelas atau
airnya tapi tergantung sudut pandang yang melihat. Begitu juga kalau kita punya sepotong data/pengetahuan, mau menjadi berkah karena data tadi jadi "setengah ilmu" atau menjadi musibah karena mrnjadi "setengah kebodohan", itu tergantung kesadar-dirian kita mengukur kadar diri sendiri.
Ini kisah nyata. Ada seorang yang diustadzkan tapi mungkin karena ideologinya, menjadikan ucapan, ceramah dan status sosial medianya penuh dengan ucapan kasar, laknat dan belakangan mulai mengkafir2kan. Ini bukan melebih-lebihkan, tapi memang begitu. Artinya yang hanya kadang-kadang saja kasarnya (seperti saya sendiri) tidak perlu merasa tersindir, tapi introspeksi diri tentu tidak terlarang juga hehehe. Yang jadi sasaran laknatnya adalah toge dan antek-anteknya, dan juga semua orang 'kafir'. Dan orang islam yang tidak setuju dengannya. Kata bunuh atau penggal kadang muncul juga. Toge itu plesetan taghut ("pemerintah kafir"). Herannya, tahun 2000an awal, saya beberapa kali menghadiri pengajiannya, meskipun dulu sudah ada kecenderungan keras tapi tidak sebegitu-begitu amat, baik ideologinya maupun kekasarannya.
Maka dengan niat baik, saya inbox beliau. Setelah bla bla sedikit ini dialognya saya ubah sedikit:
Saya (P): Ustadz, maaf, kalau bisa kasarnya dikurangi. Kan ada hadits nabi yang mengatakan "Innallaha rafiiqun yuhibburrifqa -Sesungguhnya Allah itu Maha Lembut, dan Dia mencintai sifat lembut".
Beliau (U): Nggak bisa. Hadits itu untuk kelembutan seperti kita lembut pada istri, orangtua, anak. atau dalam kehidupan sehari-hari. kalau sudah menyangkut agama, kita harus kasar pada toge, antek2nya dan kafir laknatuLlah. Antum pelajari lagi haditsnya. Pelajari konteksnya baru bicara!
P: Tapi hadits itu memang lengkapnya kan teguran Nabi saw. pada Siti Aisyah ra yang berbicara kasar pada orang kafir (yaitu Yahudi) koq. Aisyah ra tetap ditegur meski sebetulnya orang Yahudi duluan yang melaknat Nabi Muhammad. Lalu Aisyah membalas melaknat. Dan lagi lanjutannya d nasehat Nabi itu ada "fil amri kullihi" "Dia mencintai sifat lembut DALAM SEMUA URUSAN."
U: Antum salah. Saya tidak minta berteman dengan anda. Kalau tidak suka dengan tulisan-tulisan saya, tinggalkan saja.
Memang sih, saya yang lebih dahulu minta berteman dengan akunnya, secara beliau ini lebih ngetop di dunia persilatan. Tapi puas juga rasanya setelah beliau jadi orang pertama dalam sejarah perfesbukan yang saya blokir duluan hehe.
(Kalau ada yg tahu siapa beliau tidak usah disebut-sebut ya. Aib.)
Kalau ini kejadian lain di kantor saya. Sebut saja, berinisial M (bukan singkatan dari melati ya) berkomentar di milis kantor.
(setelah melihat orang mengkritik kebijakan perusahaannya -menurut keyakinannya pimpinan perusahaan (direksi?) itu ulil amri juga)
M: tidak boleh mengkritik pemimpin. itu bukan metode Rasulullah dan sahabat2nya. itu metodenya orang yunani. (seingat saya memang kata yunani ini dulu disebut)
Saya inbox-
P: Pak, masak karyawan tidak boleh mengkritik perusahaan. Kan bagus untuk didiskusikan. Kesannya islam itu jadi gimana gitu.
M: Islam kan tidak untuk menyenangkan kesan orang lain mas. islam itu qalallah wa qalarrasul.
P: Tapi kan ada hadits "man ra-a minkum fal yughayyir bi yadih dst" (barangsiapa melihat kemunkaran maka ubahlah dengan tangan, dst)
M: Pelajari lagi lebih lengkap. hadits itu sifatnya umum saja. kalau untuk pemimpin kita sami'na wa atha'na, atau datangi dua mata, lalu nasehati dia.
P: Kalau bisa bagus sih. tapi kan tidak mutlak, ada konteks dan kondisinya. Lagipula kata siapa haditsnya tidak berlaku untuk penguasa. Itu kan ceritanya sahabat Abu Said al Khudri ra membetulkan sahabat lain yang menegur penguasa (Marwan ra), di depan umum lagi, (jamaah ied) waktu dia berbuat bid'ah (mendahulukan khotbah ied sebelum salat ied).
M: Saya tidak mau berdebat mas. kita bekerja yang baik saja sebagai karyawan yang sudah menerima kebaikan yang banyak dari perusahaan.
‪#‎padahal‬ beliau yang duluan mendebat teman-teman serikat pekerja di milis kantor
P: Insya Allah kita berusaha bekerja dengan baik pak. Termasuk ketika mengkritisi kebijakan itu juga dalam rangka bekerja dengan baik.
‪#‎syukurlah‬, saya juga tidak mau berdebat, karena tema ini pasti akan jadi perdebatan panjaaaaaaang sekali)
Saya tidak mau kalau dua cerita ini dikait-kaitkan dengan person atau kelompok tertentu ya. Saya menghormati kelompok2 yg mungkin merasa dikaitkan dengan cerita ini. Apalagi belum tentu cerita ini mewakili keseluruhan kelompok.
Intinya, kita kadang mengetahui ayat atau hadits itu cuma sepotong dari kutipan buku atau ceramah, tidak utuh. Kedua hadits tadi populer potongannya, tapi jarang orang membaca atau mendengar keseluruhannya. Padahal contoh di atas hanya sekedar soal keutuhan teks. Belum lagi arti kata per kata, asbabun nuzul/wurud, analisa gramatikal, tafsiran ulama, dan tradisi yang panjang turun temurun dalam mengaplikasikan teks itu dll dll.
Dengan yang sepotong data itu, mau jadi orang setengah berilmu atau setengah bodoh sangat tergantung pada kadar pengetahuan kita pada diri sendiri. Keindahannya adalah, kalau kita tahu bahwa kita ini setengah bodoh, maka kita bisa berperilaku seperti orang yang setengah berilmu.
Di jaman internet ini, mudah untuk punya data -banyak data- tapi masalahnya adalah bagaimana merangkai kepingan-kepingan puzzle itu jadi gambar yang utuh, bagaimana mengendapkan data di pikiran, memasaknya jadi sebongkah pengetahuan. Di dunia kerja orang seperti ini disebut "data death". Kita tidak mengklaim pengetahuan kita sudah jadi gambar yang utuh, tapi minimal kita harus mengukur diri kalau puzzle itu berapa persen utuhnya, dimana bolongnya dan bagaimana memproduksinya menjadi setengah ilmu yang nafi', yang bermanfaat, bukan memproduksinya menjadi pengumuman kebodohan diri sendiri. Saya pernah begitu, mengumumkan kebodohan diri sendiri, malu rasanya
 
اللهم اني اعوذ بك من جهل نفسي


Oleh Proyo Jatmiko