Sunday, May 4, 2014

Pilih Kehidupan Akhirat atau Dunia


Memang benar, waktu muda itu baiknya difokuskan untuk menuntut ilmu. Masa-masa bekerja itu masa memanen bukan waktu menanam. Barangsiapa sedikit menanam, sedikit pula memanennya. Benar-benar menyesal ketika kuliah belajar segala sesuatu tidak dituntaskan. Dulu waktu kuliah, sehari bisa menghabiskan minimal 100 lembar bacaan, bisa sampai 3x mendatangi kajian2 atau seminar, silaturahim ke guru2 untuk bertanya, semuanya gratisan (baca buku di toko buku hehe). Sekarang, uang tersedia untuk membeli buku, mendatangkan guru, tapi waktu, tenaga dan konsentrasi sudah habis untuk hal-hal lain: pekerjaan, keluarga, masyarakat dsb.


Kalau sudah begini, tergoda untuk balik kucing mundur meninggalkan gelanggang, alasan bisa dibuat: meninggalkan dunia, hidup sederhana, zuhud, pengabdian, keutamaan ilmu dan kata-kata semisalnya. Anak istri tinggal dipahamkan (didoktrin paksa hehe). Tapi tidak semua berani melakukannya, yang ada indecisiveness, lalu kemudian kinerja menurun, beralasan penghidupan yang sekarang bukan passionnya atau malah menuduh penghidupannya yang sekarang adalah dunia yang menyibukkan dan melalaikan. Jujur, saya dulu begitu banget. Indecisiveness: galau dan seolah menyalahkan nasib.

Beberapa tahun lalu, ketika mulai serius membaca Al Hikam (Aphorism), saya mendapatkan pencerahan tepat di butir hikmah yang kedua dari Ibnu Athaillah untuk orang-orang seperti saya dan semisalnya.

Kata Ibnu Athaillah,
إرادتك التجريد مع إقامة الله إياك في الأسباب من الشهوة الخفية .
وإرادتك الأسباب مع إقامة الله إياك في التجريد انحطاط عن الهمة العلمية .

"Keinginanmu pada kedudukan tajrid padahal Allah sudah menempatkan engkau pada kedudukan asbab, adalah nafsu yang tersamar. Sedangkan keinginanmu pada kedudukan asbab padahal Allah menempatkan engkau pada kedudukan tajrid, adalah penurunan dari cita-cita yang tinggi."

Tajrid adalah kedudukan tidak terlalu terikat atau tidak menghiraukan dunia, sedangkan asbab adalah kedudukan yang masih terikat dengan dunia (sebab-akibat).

Ilustrasi mudahnya, seorang yang mencurahkan hidupnya sebagai dosen, guru, ulama, da'i mungkin cukup berpuas dengan penghasilan materi yang tidak terlalu luas (jika itu konsekuensinya), perhatian mereka adalah ilmu dan penyebarannya di dunia. Mereka berada dalam kedudukan tajrid. Sedangkan kebanyakan kita, masih terikat dengan sebab-akibat di dunia karena amanah punya anak istri, orangtua yang wajib dinafkahi, atau punya hutang , atau karena menjalankan fardhu kifayah profesi-profesi kemaslahatan yang tidak baik jika ditinggalkan oleh semua muslim. Golongan ini yang berada di kedudukan asbab.

Ibnu Athaillah mengingatkan, bagi mereka yang berada di kedudukan asbab, alih-alih beralasan demi pengabdian dan mengabdikan diri pada kepentingan akhirat, ternyata kenginan mereka untuk lari dari gelanggang pada hakikatnya adalah nafsu yang tersamar (syahwatul khafiyah). Yaitu nafsu untuk memilih yang disenangi dirinya saja, meskipun Allah memilihkan yang lain baginya.

Pertanyaannya, bagaimana kita tahu ditakdirkan Allah pada kedudukan tajrid atau asbab? Jawabnya adalah dengan ilmu, dan hidayah. Ilmu misalnya dengan memikirkan berbagai macam faktor seperti tanggungjawab dan potensi, sedangkan hidayah misalnya dengan berdoa dan shalat istikharah jika masih diberi kesempatan untuk memilih. Wallahu a'lam.

Bagaimana jika penghidupan yang sekarang ternyata bukan passionnya dan rasanya sulit beralih ke passion yang sebenarnya? Passion kadang overvalued, bukan passion bukan alasan untuk tidak berprestasi. Ada value-value lain selain passion, misalnya achievement, responsibility, integrity, semangat sebagai representasi muslim dll. Tentu karena passion itu seperti cinta, passion juga bisa direkayasa, bisa ditumbuhkan pelan-pelan, dan bisa diminta pada yang menggenggam hati: Allah SWT.