Leadership is Overrated, What we need is Followership
Yang saya usulkan kita coba praktekkan sehari-hari, baik di kehidupan profesional (kantor) dan kehidupan sosial (komunitas, dakwah, partai, organisasi, dst) adalah etos kepengikutan yang positif atau followership. Saya rasa terlalu banyak contohnya dari interaksi Nabi dengan Sahabat, bagaimana kualitas followership para Sahabat Nabi, kemudian dilanjutkan di masa kepemimpinan Sahabat awal yang kemudian membawa keberhasilan risalah di masa itu.
Pentingnya followership bisa melebihi pentingnya leadership, oleh karena itu ketika ada orang yg mengejek kepada Khalifah Ali bin Abi Thalib, وروي أن رجلا قال لعليّ: ما بال خلافة أبي بكر وعمر كانت صافية، وخلافتك أنت وعثمان متكدّرة؟ فقال: إن أبا بكر وعمر، كنت أنا وعثمان من أعوانهما، وكنت أنت وأمثالك من أعواني وأعوان عثمان.
“Mengapa saat Abu Bakar dan Umar menjabat sebagai khalifah kondisinya tentram (kondusif), namun saat engkau dan Utsman yang menjadi khalifah kondisinya kacau-balau?"
Maka Ali menjawab : “Karena saat Abu Bakar dan Umar menjadi khalifah, mereka dibantu dan didukung oleh orang-orang seperti aku dan Utsman, namun ketika Utsman dan aku yang menjadi khalifah, pendukungnya adalah kamu dan orang-orang sepertimu". شذرات الذهب لابن العماد الحنبلي : 1/226
Dalam kehidupan bernegara juga kebiasaan rakyat kita yang didominasi kepercayaan satrio paningit, atau messiah atau imam mahdi, kadang berlebihan menumpukan perbaikan pada seorang pemimpin, yang menunggu dilahirkan, mendadak muncul lalu membereskan segalanya. Sementara kita (rakyat) sibuk sinis sana sinis sini mengeluhkan semua pemimpin pembohong, semua partai korup, semua PNS pemalas, dan seterusnya. Sebuah mental inlander akibat kelamaan kita dijajah. Tentu dengan sinis sana sinis sini, kita merasa lebih suci dari para pemimpin, sambil kita memuji diri sendiri "rakyat sekarang pintar".
Ki Hajar Dewantara tahu pasti kalau mental inlander hanya bisa diberantas dengan pendidikan, sehingga kredo konsep pendidikannya adalah untuk mendidik manusia indonesia agar bisa bersikap "ing ngarso sung tuladha, ing madya mangun karso, tut wuri handayani".
Robert Kelley, seorang profesor dari Carnegie University merumuskan model followership seperti di gambar. Intinya, kualitas followership yang baik itu ada pada 2 kriteria: Critical Thinking (Berpikir Kritis) dan Participation (Keterlibatan).
Rakyat atau bawahan yang critical thinkingnya rendah plus partisipasinya rendah itu masuk kategori terjelek, beliau beri nama "Sheep" (domba). Kita biasanya menyebutnya "bebek". Banyak, tapi tidak berguna dan merepotkan. Tut wuri ambebani atau Tut wuri anggondheli.
Rakyat atau bawahan yang critical thinkingnya tinggi tapi pasif, tidak mau terlibat, jarang berinisiatif mengambil tanggung jawab, itu diberi nama "Alienated Followers" atau pengikut yang terasing. Banyak omong tapi posisinya di pinggiran. Orang sebal karena kebanyakan protes, No Action Talking Only. Dia lupa prinsip berpikir kritis adalah bukan mengkritisi orang lain, tapi pertama-tama adalah kritis terhadap pikiran sendiri.
Rakyat atau bawahan yang tinggi partisipasinya tapi critical thinkingnya rendah diberi nama "Yes People". Pemimpin yang jelek suka dengan pengikut model ini. Kesimpulannya, yes people ini jelek, karena orang jelek hanya suka dengan orang jelek, partisipasinya gaduh tapi ketika diukur kontribusinya rendah.
Pengikut yang efektif (effective followers) adalah yang partisipasinya tinggi, tapi di saat yang sama dia mampu mempraktekkan critical thinking yang berkualitas.
Jadi apakah critical thinking yang berkualitas itu?
1. "Thinking" itu sendiri sebagai produk dari berpikir, harus jelas sejak di pikiran. Jika dia tidak jelas di pikiran, maka dia tidak jelas di ucapan. Bisa saja secara retorika bagus orang sesaat tertipu, tapi sebetulnya ketika di-challenge, fallacynya banyak, inkonsisten dan sesat.
2. "Critical" tidak berhubungan dengan kecerdasan, tapi adalah etos, kebiasaan, latihan dan perlu keberanian, karena ternyata terkadang banyak orang yang takut dengan pikirannya sendiri. Tools paling bagus adalah berfilsafat, lebih dari sekedar berlogika karena filsafat dalam arti paling dasar adalah memeriksa secara mendalam (substantif), memeriksa secara menyeluruh (holistik) dan memeriksa secara rinci (detail, dalam arti mempertimbangkan faktor yang ada bukan dalam arti detail secara teknis-mekanis). Dalam berfilsafat, kita tidak hanya disodori teori bagaimana berlogika yang baik, tapi juga disodori kasus (objek untuk dipikirkan) dan contoh bagaimana cara memikirkan dan hasil dari cara tersebut (contoh disini mau tidak mau adalah tokoh-tokoh dalam dunia filsafat tersebut). Karena filsafat tumbuh subur di negeri barat maka bagi muslim tidak semua contoh tersebut benar, dan ketakutan terhadap yang tidak benar itu mengakibatkan kita takut pada filsafat. Baiklah, karena filsafat hanya sebuah cara, masih ada cara lain misalnya sebagian yang mengharamkan memang pada dasarnya punya bakat berpikir yang baik.
3. Critical thinking itu sendiri berbeda dengan menolak sesuatu, sebagaimana menerima sesuatu bukan berarti tidak mengkritisinya. Sama-sama penolakan, ada penolakan yang berkualitas, ada yang tidak. Sama-sama taat, ada taat yang bermutu, ada yang tidak. Sebelum menerima atau menolak, critical thinking memeriksa sesuatu dengan referensi. Referensi beragam sesuai konteksnya, perusahaan misalnya nilai (value), AD-ART, visi misi dan tujuan/target perusahaan. Maka ketika dia memeriksa sesuatu kebijakan atau program, dia membandingkan dengan referensi tersebut. Maka critical thinking tidak sama dengan tidak loyal, karena patuh pada perusahaan tidak selalu sama dengan patuh pada atasan. Followership sebaliknya, dia bisa membantu menambal kekurangan atasan, mengembalikannya pada track yang benar dengan cara-cara kritis yang baik (bahasa khas orbanya: kritik yang membangun). Dengan demikian organisasi yang baik adalah organisasi yang mengembangkan antusiasme bukan loyalitas, serta kepahaman bukan kepatuhan.
4. Critical thinking juga tidak berhubungan dengan ego, karena intelektualisme justru memiliki sifat humble. Artinya, selain melihat referensi sebagai idealita yang menjadi titik tujuan, bawahan harus mampu melihat realita sebagai titik berpijak. Setelah melangit, harus kembali ke bumi. Adalah mudah untuk mengatakan misalnya, sesuatu itu salah, menyimpang, tapi kita tidak pernah mencoba untuk mempelajari faktor-faktornya, sistemnya, ilmunya, lalu tanpa pengetahuan memadai kita merasa sudah mengatakan hal yang baik? Humble disini adalah menempatkan posisi kita pada posisi pemegang kendali, sehingga kita bisa merasakan kesulitan, kompleksitas dan tahapan-tahapan yang diperlukan untuk mencapai tujuan. Dengan demikian sinisme, sarkasme, skeptisme, apatisme sama sekali bukan critical thinking. Memberikan solusi yang tidak realitis untuk dicapai oleh pemimpin, memang seolah aman secara teori tapi sebetulnya itu simplistik dalam menghadapi kompleksitas, artinya kita tidak cukup serius berpikir.
5. Otomatis critical thinking yang benar akan melibatkan diri. Untuk menguji cara berpikir kita, kita akan dengan senang hati mengambil tanggung jawab, menguji pikiran dengan praktek, turun tangan untuk mencoba memperbaiki sesuatu artinya sabar dengan berbagai kompleksitas, kontradiksi, kekurangan, dan panjangnya jalan perubahan. Berkomentar tentang semua partai korup dan tidak memperjuangkan rakyat lewat facebook, menggunakan iphone jenis terbaru di sebuah cafe starbucks di Grand Indonesia Mall itu mudah dan menimbulkan perasaan enak bahwa kita sudah membela rakyat. Membuat status tentang khotib jumat yang kampungan atau tidak tercerahkan itu mudah dan menimbulkan perasaan enak bahwa kita kalau tidak soleh minimal kita tidak munafiq.
------------------------------------------------------------------------------------------
Organisasi yang buruk karena kualitas pengikut yang buruk dan pemimpin yang lupa diri, ilustrasinya seperti ini:
Dalam sebuah long march seorang pemimpin berjalan di depan dengan gagah diikuti oleh jutaan pengikutnya. Mereka tiba di sebuah jalan bercabang dua, tanpa papan petunjuk. Jalan di kiri kotor, terjal dan penuh dengan duri. Jalan di kanan, mulus, beraspal dan kelihatannya cerah. Pikir mereka, tentu jalan di kanan yang benar, maka si pemimpin memilih jalan di kanan. Pengikutnya pun mengikutinya. Baru beberapa langkah, ada sebuah teriakan yang tidak jelas asalnya mengingatkan kalau jalan yang dipilihnya salah. Si pemimpin tetap melangkah, lalu teriakan itu terdengar lagi, bahwa jalan yang dipilihnya salah dan akan menjerumuskan mereka ke dalam jurang. Kali ini si pemimpin menjadi sedikit ragu.
Dia menoleh ke belakang, lalu berpikir, "tidak mungkin jalan yang aku pilih salah. jutaan kaderku mengikutiku dengan yakin. pasti aku benar."
Di belakang, kadernya juga sedikit ragu, tapi mereka pun berpikir, "pemimpin kita berjalan dengan sangat yakin. tidak mungkin dia salah".
Lalu mereka bersama-sama masuk jurang.
oleh priyo jatmiko
No comments:
Post a Comment