Saturday, May 3, 2014

Kepandaian baru berkah dengan niat yang bersih

Sebagaimana kepandaian baru berkah dengan niat yang bersih, niat yang baik saja tidak bisa mengobati bencana akibat kebodohan.
Salah seorang ulama besar Syria, Dr Mustafa As Siba'i menulis buku yang berisi refleksinya atas pengalaman hidup berjudul "Hakadza 'Alamatni al Hayat" atau "Beginilah kehidupan mengajariku." Artinya tulisan beliau ini bukan hanya ajaran-ajaran normatif yang dikutip dari teks yang kadang tanpa refleksi yang kritis dan jujur bisa seperti pasal karet yang menjustifikasi hawa nafsu kita, tapi beliau memperolehnya dari pengalaman. Dan dunia islam tahu, beliau bukan seorang ulama yang hanya mengajar di kelas dan menulis di atas meja, beliau adalah ulama 'amilin, ulama yang banyak beramal, oleh karenanya patut kita dengarkan..


Salah satu potongan nasihatnya, pendek tapi tajam: خبث نية القائد تقود الجنود إلى الهزيمة ولو كانت نواياهم حسنة، buruknya niat seorang pemimpin, tidak bisa menyelamatkan nyawa prajurit walaupun prajurit itu niatnya baik. Dalam perjuangan yang disebut sebagai Fi sabilillah (jika kita mau menyebutnya demikian), maka agar benar-benar di Jalan-Nya Tuhan, yang harus diperbaiki oleh para pemimpin adalah niat. Kejujuran mereka di hadapan Tuhan. Melawan ego, karena pandangan hormat manusia terkadang membuat lupa diri atau merasa disayang Tuhan. Sementara itu yang bisa menolong niat baik para pengikut hanya ilmu, karena namanya Fi Sabilillah, bukan Fi Sabil Khalifah atau Fi Sabil Qiyadah. Harus bisa membedakan. Pengalaman adalah guru yang terbaik. Tapi kita tidak harus selalu belajar dari pengalaman sendiri. Lebih aman belajar dari pengalaman orang lain, terutama kalau itu pengalaman kegagalan atau kehancuran. Tidak usah penasaran untuk mencoba sendiri. Kita tahu, kejayaan peradaban itu naik dan turun. Di saat kejayaannya, jarang ada yang berpikir bahwa suatu saat nanti kita bisa hancur. Watak manusia memang lupa diri, lalu pongah dan menjadi lalim di saat kejayaannya, baik itu karena kekayaan, jabatan maupun pujian. Karena ini sunnatullah, klaim-klaim moral seperti "kita di jalan Tuhan" tidak berguna melawan sunnatullah. Seperti hampir di semua masa kekhalifahan yang nama raja-rajanya banyak menyandangkan mandat dari Tuhan seperti "Al Hakim billah (Penguasa karena ijin dari Allah) dan semisalnya. Jika ada orang dengan bashirah (mata hati) mampu melihat kerusakan masyarakat, pesohor dan penguasanya, kemudian ia berdiri dan menyerukan perbaikan, biasanya dia akan dicemooh, dianggap sebagai orang gila atau terlalu sentimentil, seruan-seruannya sumbang mengganggu kenyamanan, menginterupsi kenikmatan dan menyebarkan perpecahan. Oleh karena itu pastilah mereka ini hanya orang-orang yang iri, para pembenci atau orang yang egois, mementingkan pendapatnya pribadi di tengah pendapat umum orang banyak. Tidak ada yang percaya, karena di tengah-tengah berbagai kelimpahan dunia, kegentaran para pesaingnya dan pujian-pujian, bagaimana mungkin kita akan hancur? Dan bukankah kita adalah wakil Tuhan di muka bumi sementara musuh-musuh kita adalah penyembah berhala dan orang-orang biadab dan tak punya adab? Demikian, pikiran banyak orang, hingga yang terpandang dan tercerdik pun, karena pada siapapun jika di tengah-tengah massa, euforia bisa menghilangkan akal sehat. Demikian yang terjadi misalnya di Andalusia, masyarakatnya memandang selain mereka adalah orang barbar yang tidak mengenal kamar mandi dan cita rasa seni yang tinggi. Sejarawan Ahmad Mahmud Himayah mencatat, bagaimana keruntuhan negeri yang cantik dan makmur itu seolah terjadi hanya satu malam. Dan bagaimana herannya dia ketika mencatat keruntuhan Andalusia, "jika sebuah kerajaan umumnya pada masa itu ketika di tengah kegentingan dan akan diserang musuh maka raja-rajanya akan memobilisasi rakyatnya, menyerukan perlawanan dan semangat, kenapa untuk kasus Andalusia ini baik para pembesarnya maupun rakyatnya menyerah begitu saja, nyaris tanpa perlawanan? Dan kenapa begitu mudah hanya dalam hitungan semalam?" Tapi bagi mereka yang sebelumnya mengingatkan kebaikan dan kemudian diasingkan tersebut, mereka tahu, keruntuhan tidak terjadi dalam semalam saja, dia sudah dimulai bertahun-tahun sebelumnya. Tanda-tanda begitu banyak, tapi lebih banyak lagi penyangkalan. Betapa banyak penyangkalan dan kambing hitam! Pada saat itu, siapa yang sebetulnya mencintai negerinya dan siapa yang mencintai dengan cara yang salah akan terlihat bedanya. Tapi tidak akan ada kebanggaan dari para penyeru perbaikan tersebut. Mereka akan sama-sama bersedih menangisi, dan memang Andalusia yang pernah terpandang, dipuja-puji dan berjaya tersebut, sampai sekarang masih akan ditangisi.. Sejarah Andalusia dan sejarah raja-raja islam yang lainnya, banyak di antara kita yang hafal, tapi mungkin bagi kita sejarah hanya sebuah dongeng masa lalu. Atau sejarah seperti kata Penyair Blake Morrison, kita manusia selalu menerapkan selective memory, ingatan yang kita seleksi mana yang nyaman dan sesuai dengan tujuan kita. Mungkin kita harus bertanya, dengan kadar kualitas kita saat ini, akankah kita bertindak berbeda dari pengikut-pengikut setia Andalusia? Akankah kita bertindak berbeda, yaitu merespon seruan perbaikan dengan serius dan tulus? Bayangkan kita ada di Andalusia beberapa tahun sebelum keruntuhannya.

No comments:

Post a Comment